Rabu, 20 Januari 2010

Indonesia dan migas

Indonesia dan Migas

Beberapa waktu lalu, harga minyak dunia melonjak naik mencapai angka lebih dari US$ 140 per barel. Walaupun saat ini harga sudah turun drastis, namun harga minyak dunia diprediksi masih akan berfluktuasi.

Sayangnya, naiknya harga minyak dunia tidak dapat dimanfaatkan oleh Indonesia. Malahan naiknya harga minyak dunia menyebabkan bengkaknya subsidi energi. Hal ini terjadi karena Indonesia mengalami energy gap, yaitu migas yang diproduksi tidak seimbang dengan angka konsumsi. Meskipun Indonesia dikategorikan sebagai negara penghasil migas, faktanya Indonesia adalah net oil importir.

Tanya kenapa???

SDA migas yang dimiliki Indonesia, sebagian dikuasai oleh asing. Pertamina sebagai perusahaan negara hanya menguasai produksi migas nasional sebanyak 12 % saja. Kemana sisanya? Sisanya dikuasai oleh kontraktor asing. PT Bukit Asam hanya menguasai 5 % produksi batu bara nasional dan sisanya dikuasai kontraktor nasional dan asing.

Nah, dampak dari penguasaan asing terhadap sumber energi Indonesia adalah terjadinya kelangkaan karena kontraktor asing lebih mengutamakan ekspor daripada pemenuhan kebutuhan energi di dalam negeri. Kenapa seperti ini kondisinya? Ada yang terjadi di dunia Migas Indonesia?



*

UU No. 22 Tahun 2001 (UU Migas)

UU ini mengubah haluan pengelolaan migas di Indonesia menjadi sangat liberal. Posisi negara dalam pengelolaan migas diubah dari menguasai (melalui pemberian kuasa pertambangan kepada pertamina sebagai perusahaan negara) menjadi sekadar memberi kuasa untuk mengelola sumber daya migas (melalui BP Migas yang menunjuk kontraktor). Hal ini menyebabkan kendali pengelolaan migas tak lagi sepenuhnya berada pada tangan negara.

Bentuk kontrak dalam UU Migas dibuat menjadi Business to Government. Negara melalui BP Migas bersama-sama dengan kontraktor mengikatkan diri dalam kontrak. Artinya, negara harus pula mematuhi kontrak sebagaimana halnya kontraktor. Jika terjadi pelanggaran kontrak, negara dapat digugat dan dibawa kontraktor ke arbitase internasional. Hal ini membuat negara tak leluasa bergerak untuk mengubah kebijakannya karena akan selalu dibayangi ancaman gugatan oleh pihak kontraktor.

*

Kebocoran dalam tubuh industri Migas dan Pertambangan

Stagnasi kontribusi Industri Migas bagi penerimaan negara adalah mekanisme recovery yang tidak transparan. Penyelidikan BPK dan BPKP menemukan 33 item yang berulang sebagai komponen cost recovery. Cost recovery, dimana hanya 17 item dinilai terkait langsung dengan biaya operasi. 17 item tersebut mangandung komponen pembiayaan yang tak dapat dipertanggungjawabkan. Menurut laporan BPK tahun 2007, penyelewengan cost recovery ini merugikan negara sebanyak US$ 2,5 miliar.

Selain itu, Pertamina diduga telah merugikan negara akibat mengimpor minyak mentah jenis Zatapi tanpa proses tender yang layak. Kasus ini menyebabkan kerugian negara mencapai Rp. 427,5 miliar.

Lemahnya transparansi penerimaan negara dari sektor Migas dan Pertambangan pun menjadi penyebab carut marutnya dunia Migas dan Pertambangan di Indonesia. Laporan BPK tahun 2007 menemukan adanya penerimaan negara dari sektor Migas sejumlah Rp. 106, 93 triliun yang tidak disetorkan langsung oleh Pemerintah ke kas negara. Hal ini sudah pasti merugikan negara.

Di sektor hilir, terjadi kebocoran akibat transaksi minyak yang tidak dilakukan dengan pengawasan memadai sehingga tidak dapat diketahui secara pasti jumlah minyak yang diperjualbelikan.

*

Keberpihakan pemerintah pada asing

Jatuhnya blok cepu ke tangan Exxon Mobil (AS), diperhitungkan negara hanya menerima 54 % dari pendapatan total blok Cepu yang dapat mencapai US$165,74 miliar atau sekitar RP. 1500 triliun. Padahal, Pertamina memiliki kemampuan untuk mengelola sendiri blok tersebut. Secara finansial maupun teknis, tidak ada kendala yang dapat menghambat Pertamina beroperasi di wilayah tersebut. Ada apa ini? Apakah ada intervensi asing terhadap pemerintah? Bukankah kebijakan itu sepenuhnya otonom dan berdasarkan pertimbangan kepentingan Bangsa.

Baru-baru ini, blok Semai V dengan potensi bisnis sekitar US$ 78,7 miliar atau sekitar Rp. 900 triliun diserahkan kepada Hess

(AS). Hess ditunjuk karena Hess menawarkan signature bonus sebesar US$ 40 juta. Jauh dari yang ditawarkan Pertamina sebesar US$ 15 juta. Padahal, Pertamina menawarkan teknologi dan komitmen investasi yang lebih baik dibanding Hess. Signature bonus memang memberikan uang dengan segera, namun tak memberikan manfaat signifikan bagi kepentingan jangka panjang nasional, terutama dari sisi potensi keuntungan dan ketahanan energi.

Di negeri yang katanya kaya raya ini, sebenarnya banyak proyek–proyek yang jelas-jelas lebih menguntungkan asing daripada Indonesia. Namun, entah kenapa, pemerintah seperti dilumpuhkan oleh para asing yang terus mengeruk kekayaan dan mengerogoti kedaulatan bangsa ini. Di negeri yang katanya kaya-raya ini, rakyat yang masih jauh dari kata makmur, bermuara pada ketidakkonsistenan pemerintah dalam melaksanakan amanat konstitusi pasal 33 UUD 1945. (sumber : Marwan Batubara, anggota DPD RI). *Penulis: Leni (Departemen Kastrat BEM Unpad).
Link: http://blog.kemaunpad.net/?p=165

Tidak ada komentar:

Posting Komentar